Entah sejak kapan, aku berpikir
jika aku mampu menghadapi masalah hatiku sendiri. Aku tak sadar bahwa apapun
yang kulakukan saat itu akan berdampak pada kehidupanku kelak. Dan yang aku
sayangkan, mengapa aku tak segera sadar dan membiarkanmu memasuki sisi lain
dariku yang mungkin aku sendiripun tak mengetahuinya. Sisi gelap yang kelam,
yang rapuh dan menjadi kelemahanku, hingga kini. Beribu cara, yah beribu cara!
Sisi lainku menghentak tajam dan berontak, namun aku mengacuhkannya. Aku percaya
bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ternyata tidak. Sama sekali tidak!
Kesalahan terbesar yang membiarkanmu menjelajah dihatiku dan mengobrak-abriknya
sekaligus. Tanpa jeda, tanpa jejak. Membuatku jatuh terpuruk dan mengacuhkan
fakta yang ada. Aku sudah terbius olehmu. Oleh semua tentangmu. Bahkan akupun
tak dapat lagi menolak pesonamu, seolah ada belenggu yang mengikatku. Sisi
lainku terus berontak, menerjang tanpa ampun. Namun aku tetap disini. Tak bergeming
sedikitpun.
5 april 2012
“maukah kau menjadi kekasihku kembali? Izinkan aku membenahi
kesalahanku dimasa lalu.”
Itu pesan singkat yang kuterima
darimu. Cukup. Sangat cukup untuk membuat jantungku amnesia untuk beberapa
saat. Aku memang membiarkanmu masuk kedalam hatiku terlalu jauh dan membiarkan
diriku sendiri tenggelam terlalu jauh pada lautan hatimu pula. Tidak ada kata
lain yang bisa kuucap selain “iya”. Yah, hanya itu. Mataku seolah buta, rasaku
seolah mati dan akalku seolah lenyap. Aku tak mendengar nyanyian sumbang para
malaikat disekelilingku. Aku tak melihat sinyal-sinyal tajam dari dewa-dewa
yang melindungiku. Aku benar-benar mati. Bahkan nurani yang berteriak sekeras
peluit perahupun tak kuhiraukan. Aku tetap merasa bahwa aku benar dan aku
memenangkan permainan ini. Namun Tuhan berkata lain dan membuka pintu hatiku.
8 april 2012
Aku melihatnya dengan mata
kepalaku sendiri. Tentang pendar matamu, tentang raut bahagiamu dan tentang
sikap tubuhmu. Semua mengarah pada satu tujuan. Bukan aku tapi dia. Gadis itu.
Temanku sendiri. Aku baru tersadar akan kebodohanku selama ini. Aku hanya bisa
diam mematung melihat hal itu, karena memang hal itu yang bisa kulakukan. Aku
membiarkanmu terbang jauh dengan anganmu sendiri dan membiarkanku terpuruk
dalam sesalku sendiri. Ingin aku berteriak tanpa jeda, sekuat mungkin. Namun
sia-sia. Aku tetap tidak bisa melupakanmu, melupakan kenangan itu, melupakan
masa lalu, kita.
Aku menyesalkan keadaan, yang
selalu mengingatkanku tentang dirimu. Seberapa keraspun aku menghindar, kau
tetap hadir dalam kehidupanku, seolah kau membayangi setiap kegiatanku. Mungkin
hal ini terkesan hiperbola. Tapi itulah fakta! Itulah kenyataan! Beberapa kali
kucoba tuk mengikat diri dengan yang lain, tapi tetap saja aku tak berhasil.
Aku hanya akan menyakiti mereka. Dan aku tak ingin menjadi sepertimu yang
selalu membayangi dan dibayangi. Mencoba tuk meyakinkan diri? Sudah kulakukan.
Hasilnya? Ada,
tapi tak sempurna. Semua orang seolah mengejekku dengan sindiran-sindiran halus
mereka. Dan sekali lagi aku hanya bisa diam.
11 april 2012
“aku menyukai temanmu yang manis itu, boleh aku mendapatkan nomor
teleponnya?”
Pertanyaan yang bagiku adalah
pernyataan darimu itu menyirap seluruh sel-sel tubuhku. Hatiku bergemuruh
dahsyat. Tidakkah kau pikirkan perasaanku yang saat itu berstatus sebagai
kekasihmu? Tidakkah kau tahu, luluh lantaknya hati ini? Kau berkata padaku
langsung seolah diantara kita tidak terjadi apa-apa. Mungkin jika kau hanya meminta nomor
teleponnya, akan aku berikan padamu secara cuma-cuma. Namun pernyataan bahwa
kau suka padanya membuatku lebih memilih untuk berbohong.
Entah mengapa, melepas seorang sepertimu yang seharusnya
mudah dilepas tidaklah segampang yang ku pikirkan. Entah mengapa pula, aku
tetap bertahan walaupun beribu-ribu atau bahkan mungkin berjuta-juta luka kau
berikan padaku. Terkadang sekelibat pikiran muncul dalam benakku bahwa ini
adalah permainanmu yang ditujukan khusus untukku agar bisa membencimu secara
keseluruhan. Namun terkadang pula, ada selaan nada pembelaan untukmu yang juga
kerap kali muncul dibenakku. Dan itu membuatku makin tersesat pada alam baru.
Perdebatan dengan diriku sendiri.
14 April 2012
Aku melihatmu, berboncengan
dengan seorang gadis yang kau sebut kakak dari mantanmu yang lalu. Pada awalnya
aku menyakinkan diriku sendiri bahwa itu memang bukan kamu. Namun pesan singkat
darimu yang kuterima beberapa saat kemudian membuatku hancur untuk yang kedua
kalinya. “..anak-anak sepermainan, kakak
mantanku.” Itu katamu. Dengan muka tanpa dosa, dengan suara tanpa beban.
Kau membonceng gadis lain untuk mengantarnya pulang, sedangkan aku, kekasihmu
sendiri, kau biarkan menunggu sesuatu yang samar. Sendiri. Dibawah terik
matahari. Keterlaluan! Sungguh! Jikalaupun ada kata yang lebih sadis dari itu,
mungkin akan ku teriakkan juga. Namun tetap saja nyaliku selalu menciut,
suaraku selalu tertahan diambang batas kerongkonganku lalu hilang begitu saja
bagaikan angin menerbangkan debu. Sebegitu besarkah pengaruh jeratmu padaku?
Hingga aku tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang samar?
Hingga detik ini tak ada 1 pesan
masuk darimu di inbox handphoneku. Untuk sekedar menyapa ataupun menanyakan
keadaan. Berbanding terbalik dengan dirimu yang dulu, yang selalu ada untukku.
Terkadang rasa ini membuatku begitu terpuruk dalam keadaan yang memprihatinkan.
Dan tanpa aku sadar, ada banyak tangan-tangan malaikat yang membantuku tuk
bangkit kembali. Memapahku dari ketidakberdayaanku. Merawatku dari lukaku.
Memberiku perlindungan dan rasa nyaman. Meskipun para malaikat itu terikat
dengan yang lain mereka tetap peduli. Sering aku mempunyai angan-angan untuk
memiliki mereka. Yang benar-benar bersih, putih, polos dan suci. Namun, mungkin
aku kan
terkutuk setelah memilikinya. Memiliki orang yang tak berdosa, tak mengerti
apa-apa. Dan itulah yang membuat mereka tetap bertahan dengan ikatannya
masing-masing. Meski badai menghadang dan angin besar menerjang. Mereka tetap
bisa tersenyum tulus dan menyabarkan hati. Berbeda 180° denganku. Aku hanya
bisa menggunakan topeng kepalsuan dan membungkus diriku dengan kepura-puraan semata.
Namun dibalik itu, aku hancur. Sangat-sangat hancur. Aku tidak bisa berhenti
menghardik diriku sendiri sampai aku benar-benar bisa melupakannya dan
menemukan penggantinya. Aku memang bodoh. Aku menciptakan perang dingin dengan
diriku sendiri dan menyerah pasrah pada sesuatu yang biasa disebut cinta, atau
mungkin nafsu? Karena hakikatnya cinta tak pernah menyakiti namun memberi warna
serta jiwa pada setiap kehidupan manusia. Tidak ada 1 kata filsuf manapun yang
meresap pada diriku untuk saat ini dan kebijaksanaan seolah menjauh perlahan
dariku. Hanya karena kamu. Yah, kamu! Sampai kapan aku akan bertahan dengan
rasa sakit ini? Sampai kapan aku selalu berusaha bangkit dari keterpurukanku?
Sampai kapan aku membuang sia-sia rasaku padamu? Semua hanyalah dengungan
pertanyaan yang takkan pernah terjawab dan hanya akan kembali memantul. Selalu
dan begitu, tanpa henti. Karena rasa ini telah mati, karena jiwa ini telah
hilang, karena harap ini telah musnah, karena semua hanya kesemuan belaka.
Tanpa awal yang indah, dan tanpa akhir yang pilu. Semua hanya perjalanan.
Perjalanan jiwa dan pikiran masing-masing. Karena bukan hatimu yang kumiliki,
tapi hanya sebuah raga hampa. Keyakinanku akan kisah kita yang pasti pudar
perlahan tanpa meninggalkan jejak sama sekali pasti kan terjadi. Kita bukanlah 1, meski kita
kesatuan. Kita tidaklah bersama, meski kita menggenggam. Kita bukanlah pasangan
meski “kau”dan “aku”. Karena kita dua cabang yang berbeda jalur. Karena kita
sama-sama bersembunyi pada kesemuan kisah semata dan.. Karena, semua, takkan
ada lagi..