(ketika) tepukan dan senyuman
Senyuman dan tepukan kecil itu kembali kudapati lagi, dipagi
hari pada kelas kalkulus. Di tambah dengan bonus jarak kami yang begitu dekat.
Sangat-sangat dekat. Hanya sepersekian meter. Dia, memajukan badannya mendekat
pada sandaran kursiku!
Bohong jika aku tak mendengar lirih suaranya menggelitik
telingaku!
Bohong jika aku tak merasakan hembusan nafasnya
menepuk-nepuk ujung jilbabku!
Bohong pula jika aku tak mendengar senandung kecil yang
kerap ia lantunkan di sela-sela pembelajaran!
jikalau boleh jujur, semua yang ia lakukan sangat-sangat
bisa membuatku tersenyum tanpa sebab. Raut wajah itu, senyum simpulnya, sorot
matanya, semua mengingatkanku pada anak kecil polos nan lugu. Menggemaskan!!
Ditambah dengan ekspresinya yang terkadang..ah! susah dijelaskan dengan
kata-kata! Benar-benar mirip dengan anak kecil!
Sungguh, ingin sekali aku mencubit lengannya saat ia
munculkan lagi wajah jenaka atau celotehan itu. Tapi apa daya, aku tak sanggup.
Aku hanya bisa ikut tersenyum simpul atau tertawa kecil saat melihatnya.
Dan sekali lagi, waktu membawa kami di penghujung kelas.
Di minggu-minggu yang kritis ini.
Di sisa-sisa waktu yang ada.
Sejujurnya aku tak bisa membayangkan apa yang terjadi
selanjutnya setelah kelas kalkulus kami usai.
Aku takkan bisa melihatnya lagi. Aku takkan bisa berbicara
dengannya lagi. Aku takkan bisa merasakan sosoknya yang duduk di belakangku
lagi. Takkan bisa.
Dan mungkin dia akan bertemu dengan wajah-wajah yang baru,
lalu dengan tepukan-tepukan yang biasa ia lakukan, mungkin aku akan gugur
perlahan dari memorinya...
4 desember 2014. 23.09
Dimana elegi ini kembali membayangiku, akhir dari
sebuah kelas, kalkulus