Senin, 07 Oktober 2013

Absis Luka Tapak Semeru



            Awalnya, aku hanya menganggapmu sebuah cadangan untuk menambal perasaan hati yang gelisah. Tak pernah terbersit sekalipun tentang kamu yang berani mencuri secara diam-diam hati yang telah salah ku titipkan. Ku sebut kamu pelarian, namun nyatanya aku salah! Hatiku yang telah dilarikan untuk yang kedua kalinya. Kali kedua yang juga salah, karena itu olehmu…
***
            SRUUK!!! Debu dan pasir mulai memenuhi rongga hidungku. Panas sekali rasanya. Bersamaan dengan itu, kudengar gemuruh tawa membahana dibelakangku. Sial! umpatku dalam hati. Gemuruh tawa yang terdengar pun makin menjadi dan tak terkendali.
            “Udah puas ketawanya? Bantu gue berdiri napa? Sakit nih! Jangan cuma ketawa aja.” ujarku sebal.
            “Habisnya lo kaya nikmatin banget posisi jatuh lo. Kita kan jadi gak tega buat ngebantuinnya. Haha.” celetuk sebuah suara yang sangat nyaring dari gemuruh tawa tersebut..
            “Gitu? Jadi kalian lebih suka kalo gue ciuman sama tanah?”
            “Hmm… Bisa jadi, haha.” ujar suara yang lain.
            “Kambing lo!” umpatku.
            Tiba-tiba sebuah tangan kokoh terulur ke arahku, bermaksud untuk membantuku berdiri. Sebuah tangan milik seseorang yang tak kudengar suara tawanya di antara gemuruh tawa membahana beberapa saat lalu.
            “Makanya hati-hati kalau jalan, nanti jatuh.”
            “Lo gak lihat tadi? Gue udah jatuh loh! Apa perlu direplay nih?” ujarku dengan memasang wajah innocent.
            “Haha boleh juga!” ujarnya dengan tawa yang lebih keras dari gemuruh tawa yang kudengar.
            “Sialan lo! Gue kira lo bener-bener simpati sama gue, ternyata sama saja!” ujarku sambil memayunkan bibir.
            “Oke oke, maaf. Ayo lanjutkan perjalanan.” Timpalnya. Akupun mengamit tangannya dan bangkit dari posisi jatuhku. Debu yang menempel pada bajuku hanya ku kebas seenaknya dan menimbulkan gumpalan debu lain – yang lebih padat – disekitarku.
            “Debunya, sumpah! Tebel banget! Andaikan debu-debu disini itu emas, pasti pulang dari sini gue jadi jutawan.”
            “Kalau debu disini itu emas, gunung ini gak bakalan jadi gunung tertinggi di Pulau Jawa. Keburu habis duluan dikeruk sama penduduk lokal. Gue heran, baru pertama kali gue lihat efek jatuh kayak gini. Lo beneran gak apa-apa?” ujarnya dengan wajah khawatir.
            “Haha gak tau nih. Otak gue mendadak konselet.” ujarku dengan tampang acuh tak acuh.
            Yah, aku memang sedang berada di Gunung Semeru. Lebih tepatnya dijalur pendakian menuju Ranu Kumbolo, bersama teman-temanku. Rombonganku terdiri dari 5 orang cowok dan 2 orang cewek, termasuk aku.
            “Jadian di jalur pendakian Mahameru keren kali ya? Apalagi ditembaknya pas didepan Tanjakan Cinta.” ujarku asal.
            Mendadak keenam pasang mata menatapku lekat dengan guratan bingung yang terlihat jelas. Refleks aku pun menutup mulut dengan tanganku sendiri. Entah mengapa, mendadak mulut ini tidak dapat berhenti berucap seenaknya. Sepertinya otakku memang benar-benar konslet akibat jatuh tadi.
            “Tak apa. Lupakan saja ocehanku tadi. Otakku sedang konslet.” lanjutku kemudian.
            Merekapun tertawa serempak. Deka, ketua rombongan serta satu-satunya teman yang menolongku tadi, berjalan kepadaku dan mengelus puncak kepalaku.
            “Kepingin banget ya?”
            “Ya iyalah, kece tau.”
            “Makanya jangan kebanyakan nonton sinetron. Lagian jomblo kok di pelihara.”
            “Sialan lo!” balasku sengit.
            Tak terasa aku dan rombongan telah sampai di Ranu Kumbolo. Perjalanan yang di penuhi dengan saling cela membuat kami tak menyadari genangan air raksasa di depan mata yang menggoda tubuh untuk segera berendam disana.
            “AAH!! RANU KUMBOLOO!!” ujarku penuh semangat.
            Aku pun berlari turun menuju bibir danau. Ku lepaskan “Carier” ku secara sembarangan dan langsung mencelupkan kaki di air danau yang sejuk. Segar rasanya.
            “AYO NGECAMP DISINI!!” seruku dengan antusias.
            “Ah gak seru! Mahameru masih jauh. Ngecamp di Arcopodo aja!” tolak Yogi, salah satu anggota di rombonganku.
            “Hmm..baiklah.” ujarku lemas.
            Perjalanan pun kembali kami lanjutkan. Pula, aku yang tetap bersama dengan rombongan meski dengan setengah hati dan bibir yang mayun. Kali ini, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirku. Hanya helaan angin dan derap kaki yang menjadi musik pengiring hingga kami sampai di Cemoro Kandang.
            “Kenapa diam? Biasanya kan lo yang paling cerewet, tumben? Lagi sakit perut ya?” ujar Deka yang entah sejak kapan telah berdiri di sampingku. Ku acuhkan keberadaannya. Aku sedang tak ada mood untuk  bercanda.
            “Beneran pengen jadian di jalur pendakian Mahameru?” tanyanya lagi. Namun aku masih tak memberi respon.
            “Udah dong, jangan cemberut mulu. Nanti bakalan ada kejutan special buat lo.” tuturnya dengan nada yang lembut.
            “Ha? Kejutan apa?” ucapku akhirnya.
            “Namanya juga kejutan, ya rahasia.” lanjutnya lagi dengan senyum penuh misteri.
            Ia pun berjalan meninggalkanku dengan senyum setengah rembulannya yang masih melekat dan membiarkan kepalaku dipenuhi oleh spekulasi akibat kata-katanya mengenai kejutan spesial, hingga tanpa sadar aku menabrak pendaki lain yang berjalan didepanku. Beruntung, Kim, spesies cewek terakhir dalam kelompok kami – selain aku tentunya – yang berjalan dibelakangku, menangkap lenganku dengan sigap sebelum tubuhku kembali berciuman dengan tanah.
            “Eh? Kamu gak apa-apa?” ujar sebuah suara yang asing ditelingaku.
            “I..iya. gak apa-apa. Hehe. Maaf ya.” ujarku gugup. Entah mengapa mendadak aku merasa ada aliran sengatan listrik bervoltase kecil disekujur tubuh saat mataku bertemu dengan matanya. Sial! Kece banget ini cowok. Anak mana ya kira-kira? usik hatiku.
            “Beneran gak apa-apa? Kalau capek istirahat aja. By the way, kesini cuma berdua?” lanjutnya lagi dengan kerutan bertumpuk tiga di dahinya. Memangnya kenapa dengan sepasang cewek yang ingin berkunjung ke Mahameru?
            Eh, sorry gue gak bermaksud kepo. Cuma gue baru liat ada cewek, berdua, ndaki sampe sini.”
            “Gak kok. Gue sama rombongan. Mereka udah duluan.” ucapku kalem.
            “Oh. Mau bareng? Kebetulan gue juga pencar dari rombongan.” tawarnya.
            “Boleh juga!” sahut Kim mendadak. Sialan nih anak! Maen iyain aja. Gak tau apa jantung gue lagi amnesia gini?
            “Tapi kalau keberatan juga gak apa-apa, gue gak maksa.” ujarnya sambil melirik ke arahku. Seolah mengerti kode mata dari ‘cowok asing’ itu, Kim menyikutku.
            “Eh, iya..maksudku gak. Gak ada yang keberatan. Ayo jalan lagi. Gue Kara dan ini teman gue Kim. Lo siapa?” timpalku.
            “Panggil aja gue Andra.” ujarnya dengan seulas senyum.
            Perjalanan yang sempat tertunda pun kami lanjutkan kembali. Seperti sebelumnya, aku tak banyak bicara. Kali ini kim lebih mendominasi pembicaraan. Bukan karena aku tak ingin berbicara dengannya, hanya saja aku masih berusaha mengatur irama jantung yang tak beraturan. Tak terasa, waktu telah membawa kakiku menginjak tanah Arcopodo dengan 3 jam yang terlewati penuh oleh kediamanku. Aku sendiri pun tak mengerti, mengapa aku bisa bertahan untuk tak berucap selama itu. Sihir ‘kejutan’ Deka memang sangat ampuh untuk membuatku bermetamorfosa menjadi seorang yang bisu.
            “Hey, lama banget jalannya. Kita udah lumutan nih nunggu kalian disini. Eh, itu siapa? Ditinggal bentar aja udah dapet gandengan.” ujar Deka dengan wajah cemberut.
            “Bukan siapa-siapa. Dia ketinggalan rombongan, dan rombongan kita sepertinya bakalan ketambahan anggota.” tandasku.
            “Ya sudah, itu tenda kalian udah kita bikinin. Istirahat aja kalau capek. Nanti malam kita lanjut ke Mahameru.” lanjut Deka.
            Aku tak menyahuti ocehannya. Kulangkahkan kaki tapi tak menuju tenda, melainkan menuju semak terdekat. Ku jatuhkan tubuhku dan ku luruskan kaki dengan helaan nafas yang panjang. Andra tiba-tiba berjalan menghampiriku dan langsung duduk disebelahku.
            “Capek ya?” ujarnya
            “Gak juga.”
            “Sepertinya pacarmu cemburu.” lanjutnya lirih.
            Aku yang tak mengerti arah pembicaraan, hanya memasang tampang bingung sebagai jawaban atas pernyataannya. Pacar? Cemburu? Siapa yang mau cemburuin gue? Pacar aja gak punya. Dasar tukang kepo. Kataku dalam hati. Tanpa sadar aku pun tertawa keras. Andra yang ‘terlanjur’ menikmati kediamanku, langsung melonjak dari posisi duduknya – terkejut – akibat tawa kerasku.
            “Maaf, maaf. Habisnya cara ngomong lo mirip orang yang patah hati gitu. Deka itu temen gue. Gak perlu ngerasa sok bersalah gitu. Banyak kok orang yang ngira gue sama dia pacaran, padahal enggak. Dia emang gitu, ramahnya keterlaluan dan sering bikin orang salah paham. Istilah kecenya PHP. Kadang gue heran, apa ceweknya gak makan hati tiap hari liat Deka seramah itu sama cewek lain. Eh, gue ke tenda dulu ya. Kalau lo pengen istirahat, gabung aja ke tenda cowok. Tenang aja, Deka gak gigit kok.” jelasku.
            Aku langsung berdiri dan menuju tenda. Tak kuhiraukan Andra yang berteriak memanggil namaku beberapa kali. Aku sudah lelah dan ingin segera tenggelam dalam sleeping bag-ku yang hangat. KRINGG!! Alarm hpku berbunyi nyaring. Aku mengucek mata dan menguap sejenak. Kulirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 01.00 WIB. Baiklah, saatnya meneruskan perjalanan!
***
Akhirnya kakiku menapak di puncak samudra awan. Sunrise Mahameru sangat menggoda mataku. Sekilas ku lirik Deka yang berdiri tak jauh dariku. Ternyata dia melakukan hal yang sama. Kamipun bertukar senyum.
“Ayo balik! Angin sudah mulai kencang! Sepertinya akan ada badai pasir.” teriak Andra membuyarkan lamunanku. Mau tak mau, kamipun turun. Tanpa beristirahat, kami langsung menuju Ranu Kumbolo dan mendirikan tenda disana.
“Masih ingat janji gue tentang kejutan special?” ucap Deka yang tiba-tiba telah menjajari posisiku menghadap Ranu Kumbolo.
“Masih. Apa? Jangan sampe gue kepo dan nekat nyeburin lo ke Ranu Kumbolo.” ancamku.
“Woo!! Santai. Santai. Ini juga mau gue kasih kejutannya.” lanjutnya.
“So? Apa kejutannya?
“Emm..gini, gue mau ngomong sesuatu sama lo. Dengerin baik-baik dan gue gak bakal ngulangin perkataan gue.”
“Mau ngomong apa sih?? Kenaikan harga BBM? Gue juga udah tau kali.”
“Gue seriussss!!!!!”
“Iya-iya. Gue udah pasang kuping nih.”
“Emm..ituloh.. emm..gue..gu..gue… gue sebenernya suka sama lo sejak lama. Eh, gak juga sih. Baru-baru ini aja. Tapi gak tau kenapa, rasanya perasaan ini kuat banget ke elo. Teruus, elo…mau gak..jadi..cewek gue? Hal ini udah gue rencanain sejak gue jatuh cinta sama elo, cuma gue lagi nunggu waktu yang tepat. Dan ternyata Tuhan memberikan jalan keluarnya. Elo dan gue disini. Didepan tanjakan cinta yang lo impikan.” ujarnya lirih.
“Mmm..sebenernya..dulu gue pernah suka sama lo. Duluu banget, sebelum gue tahu sikap ramah lo yang berlebihan ke semua cewek. Dari situ gue memutuskan buat berhenti suka sama lo. Bahkan gue berfikir kalo lo pasti udah punya cewek sekarang. Jadi maaf, gue gak bisa nerima elo.” ujarku tak kalah lirih.
“Jadi selama ini spekulasi gue salah? Lo tahu kenapa gue bersikap kaya gitu? Itu karena gue pengen ngeyakinin hati gue! Ngeyakinin bahwa rasa sayang gue ke elo gak berat sebelah. Ngeyakinin bahwa lo juga sayang sama gue. Gue tahu dengan gue bersikap berlebihan ke semua cewek bakal ngejatuhin image gue dimata lo, tapi apapun yang gue lakuin gak ada respon sedikit pun dari lo.”ungkapnya
“Maaf. Maaf banget. Tapi hati gue udah terlanjur dicuri sama cowok asing di rombongan kita…Andra. Andaikan lo bilang sejak awal, mungkin lo adalah destinasi cowok terakhir gue.” ucapku makin lirih. Aku terdiam sejenak, memberikan waktu untuknya meresapi keputusanku. Akupun berbalik dan DEGG!! Andra berada tepat 2 meter dibelakangku!!
“Apa tadi yang lo katakan semuanya benar? Tentang gue? Tentang perasaan lo ke gue?”
Aku tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Aku telah skak mat! Andra mendengar semuanya. Si cowok asing itu mendengar separuh isi hatiku.
“Dengar, bukannya aku tak menghargai perasaanmu. Mungkin suatu saat aku juga bisa jatuh cinta kepadamu, tapi untuk sekarang tak ada perasaan special dihatiku untukmu. Kamu tahu? Tak seharusnya kamu merelakan hatimu dicuri oleh orang asing, apalagi sepertiku. Tak ada yang istimewa dariku dibandingkan dengan Deka yang lebih dahulu mengenalmu. Aku tahu, rasa sukamu padaku hanyalah sebagai pelarian. Semuanya dapat terbaca dari kejora matamu. Apa salahnya memaafkan dan berhenti merawat kekecewaan?” ujar Andra dengan seulas senyum getir.
Kutelan dan kucerna dalam-dalam setiap kata dari Andra. Jadi inilah akhirnya? Ditempat ini. Tempat impian ini. Tanjakan Cinta dan Ranu Kumbolo. Setapak impian yang ku inginkan habis sudah. Aku kalah. Di jalur pendakian ini aku dapatkan hatiku kembali dalam kepingan. Aku telah mencapai batasku. Absis. Dan itu luka. Pada tapak Semeru.

Label: